Rabu, 06 Mei 2009

Mungkinkah visual tanpa copy?


Iklan, baik itu tv commercial (iklan tv) atau print ad (iklan cetak) selalu disertai visual dan copy. Meskipun ada satu dua iklan tanpa visual seperti iklan Kit-Kat (tv commercial) beberapa tahun lalu yang hanya menggunakan copy dan voice over yang menarik dan lucu. Untuk ini tentu membutuhkan konsep komunikasi dan kreatif yang kuat serta keberanian. Iklan inipun sebenarnya tidak terlepas dari visual yaitu typography yang digunakan pada super imposed copy (copy yang divisualkan dalam bentuk animasi).


Ketika seorang pengarah kreatif merancang sebuah konsep iklan. Tentu yang dipikirkan adalah bagaimana bentuk komunikasi yang tepat (key communication) secara konten atau konteks*. Bagaimana key visual dan key copy untuk iklan tersebut setelah mempelajari “What to say” dari proposal marketing komunikasi. Ketika konsep kreatif diimplementasikan oleh art director dan copy writer kadang terjadi penyimpangan karena pada saat mencari ide visual/copy ternyata banyak ide-ide baru yang muncul. Meskipun memang hal ini sah-sah saja namun bila dibiarkan pekerjaan bisa tidak fokus dan akhirnya konsep atau ide bisa melebar kemana-mana.

Ketika lay out sudah jadi dan siap di review oleh tim kreatif dan marketing. Ternyata ada pendapat “copy nya tidak mendukung visual, daripada copy nya nanggung lebih baik tidak usah pakai copy headline sekalian, visualnya sudah kuat kok untuk mengangkat keunggulan produk”.

Mungkinkah visual tanpa copy? Kalau copy dibuat typografi yang menarik sebagai visual sih tidak masalah, tapi visual tanpa copy? Apakah mungkin persepsi konsumen dibiarkan liar tidak diarahkan! Harusnya terdapat copy yang memperkuat visual sehingga ketika konsumen melihat visual persepsinya dapat diarahkan oleh copy kepada pesan (konten/konteks) dari produk. Bila anda mengamati image pada artikel ini. Dengan visual yang kuat tetap saja membutuhkan copy yaitu “The bite of coffee”. Ketika visual sudah tertancap kuat dibenak konsumen saya yakin visual ini sudah dapat mewakilki pesan produk meskipun tanpa copy. Berani jamin!

Kesimpulan dari artikel ini adalah meskipun visual sudah cukup kuat untuk mewakili pesan keunggulan produk namun copy tetap dibutuhkan untuk mengarahkan konsumen agar persepsinya tidak liar dalam menerima pesan produk. Namun bila secara frekuensi dan kontinuitas iklan cukup tinggi bisa saja visual berdiri sendiri plus merk tanpa copy karena sudah akrab di mata konsumen dan sudah tahu visual tersebut mewakilki keunggulan produk. Namun tentu saja ini harus hati-hati karena jangan sampai “wasting time-wasting money” karena ternyata konsumen belum cukup mengenal visual tersebut. Ingat koboy, ingat Marlboro adalah contoh komunikasi visual yang sangat kuat.


*) Konten adalah keunggulan produk secara nyata, sedangkan konteks adalah keunggulan produk secara emosional. Atau dalam istilah yang terdapat pada buku “Cutting Edge Advertising” yaitu USP (Unique Selling Preposition ) dan ESP (Emotional Selling Preposition). Juga ada istilah yang biasa digunakan yaitu tangible (rasional/nyata) dan intangible (emosional/tidak nyata).

Bagaimana pendapat anda? Silahkan...

Artikel yang berkaitan:
- Syarat iklan
- Iklan yang menjual
- Hard sale-Soft sale

6 komentar:

Punkdhut 6 Mei 2009 pukul 18.20  

Bisa juga dilihat dari sejauh mana lo mau "mengetes kecerdasan imajinasi" pemirsa. Contohnya, iklan kopi yang terlampir ini. Menurut gw sih akan lebih "pintar" kalo tanpa copy (copy=tulisan, bukan coffee heheh). Iya, akan lebih lama dicerna, tapi "reward" nya, (mungkin) akan terasa lebih besar daripada sekarang dgn tulisan "the bite of coffee". Imajinasi pembaca sudah dimatikan.

Dalam dunia desain grafis, penggunaan logo swoosh tanpa tulisan "nike" adalah contoh peniadaan copy yang revolusioner. Gw yakin bahkan Paul Rand pun blom kepikiran. Begitu juga simbolnya "The Artist formerly known as prince" yang sama sekali ga bisa diucapkan. Trus ada juga sampul album keempat Led Zeppelin yang tanpa judul, cuma pake simbol2, mewakili para anggota band.

Poin2 lo benar, agak berbahaya menggunakan visual tanpa bantuan copy, tapi kalo kita bisa melakukannya, itu adalah sesuatu yang baru dan menyegarkan. Bisa mengubah kebiasaan masyarakat yang terlalu verbal, menjadi lebih terbuka dengan hal2 visual. Padahal budaya Indonesia juga sarat dg hal2 visual (ingat candi Borobudur?)

toni.radex 13 Mei 2009 pukul 21.42  

Buat kasus Nike, proses penghilangan tulisan di logo Nike itu melalui proses waktu yg panjang, perlu beberapa dekade buat bangun image/awareness sampe sekuat itu. Jadi bukan revolusioner, lebih tepatnya evolusioner. Dan artikel di atas sudah menekankan ttg pentingnya konteks awareness tersebut.

Gw setuju sesuatu yg (terasa) baru, apa pun itu, bakal membawa kesegaran dalam sebuah komunikasi sosial. Biarpun pada akhirnya, kita mesti jelas ngarahin konteks tujuan akhir dr sebuah karya (respon langsung vs tidak langsung). Belum lagi distorsi dr berbagai karakter usia, sosial, kecerdasan dll bisa aja ikut menentukan tujuan akhirnya. Dalam konteks seni murni, hal2 ini sudah biasa & mampu dimaklumi masyarakat (apalagi yg sudah menjadi budaya bertahun2), tetapi di seni publik hal ini menjadi sedikit berbeda. Bahkan rambu2 jalan yg biarpun terasa fresh tanpa copy, juga tidak selalu menerima respon sesuai yg diinginkan pemasangnya :)

Punkdhut 16 Mei 2009 pukul 20.16  

Soal logo Nike, adalah "lompatan kreatif" yang cukup tinggi, kalo nggak mau dibilang revolusioner. Karena "sekeren" apapun Nike, ia adalah sebuah perusahaan skala besar yang memiliki resiko yg besar pula kalo membuat sesuatu yg baru, yg sedikit "nyeleneh".

Kemudian soal seni murni vs seni publik, alangkah indahnya kalo kita bisa meniadakan batasan tersebut. Karena pada awalnya, sebelum adanya istilah seni murni, kesenian adalah bagian hidup yg nggak terpisahkan dari masyarakat. Seni publik dan seni murni yang sudah melebur (sepengamatan gue), bisa dilihat di Eropa, dengan penanda iklan2nya yang cukup "aneh". Hal yang bisa diterima apabila masyarakat secara umum udah "melek seni".

M. Ismail 17 Mei 2009 pukul 21.37  

Sebenarnya visual dan copy berada dalam persepsi otak kanan (visual) dan otak kiri (verbal). Keduanya tidak harus dipisah dalam konteks komunikasi. Contoh bila kita melihat sebuah pohon, secara visual adalah sebuah pohon dgn batang, dahan dan daun. Secara verbal juga begitu sebuah pohon dgn batang, dahan dan daun. Makanya dlm sebuah iklan kalau visualnya sudah dpt dicerna secara verbal, copy tdk dibutuhkan lg.

Dlm contoh simbol Nike. Untuk membangun simbol tsb sehingga mampu menciptakan persepsi yg diinginkan membutuhkan komunikasi secara terus menerus dan konsisten. Sehingga bila kita melihat simbol tsb akan muncul persepsi yg diinginkan Nike.

Seperti juga bila kita melihat tanda tangan seseorang. Tanpa ketemu orangnya atau menyebut namanya tanda tangannya udh bicara banyak ttg siapa orang tsb dan nilai tanda tangan tsb bisa sangat mahal tergantung kualitas si pemiliknya. Andai figur sipemilik tanda tangan tsb dikomunkasikan & selalu ada signaturenya. Pasti lambat laun tanpa figurpun sign.. tsb bisa berbicara...

Kira2 sama ga ya analognya simbol nike dgn tanda tangan...?

toni.radex 18 Mei 2009 pukul 23.59  

AFAIK, Nike bukan brand pertama yang melepas logonya minus logotype, jadi bukan hal baru secara kreatifitas branding. Dalam konteks branding itu bahkan memang sudah waktunya, karena dia HARUS menjadi icon. Bahkan, yg paling luar biasa justru kekuatan slogan 'Just Do It' nya (yg juga sudah dihilangkan), tp masih menancap di kepala setiap orang yg kenal brand ini.

Semua berawal dari sebuah proses, yang pada umumnya, panjang dg intensitas tinggi. Butuh beberapa tahap untuk menjadikan rangkaian huruf yg disusun (dieja) menjadi kata yang akhirnya menjadi simbol kata, seperti saat kita belajar membaca. Seperti juga yg mas M.Ismail tulis, kata kuncinya: 'terus-menerus dan konsisten', 'lambat laun'. Semua pada akhirnya mengarah ke simplifikasi. Karena sesuatu yg sederhana sering mempunyai kekuatan yg lebih dari sebuah diskripsi panjang. Contohnya, kata 'tuhan' yg jauh lebih kuat drpd diskripsinya. Bahkan dalam bahasa Inggris, 'god' tidak ditulis dg artikel 'the'.

Simplifikasi bisa menjadi kekuatan lebih saat 'nilai'-nya telah melampaui difinisinya. Dan untuk melampauinya tidak mungkin dilakukan secara instan.

Punkdhut 21 Mei 2009 pukul 21.12  

Terlepas dari pendapat logo Nike revolusioner atau tidak......

Concern gue cuma kesimpulan dari artikel ini, yang kesannya copy dan visual itu wajib adanya, kalaupun mau meniadakan copy itu harus melalui proses yang puanjaaang.
"Aturan" ini gue rasa terlalu dini dan cenderung mematikan kreatifitas untuk membuat iklan tanpa copy. Padahal teknik "visual tanpa copy" adalah hal yang lazim dilakukan di luar sana (luar negeri ato bahkan luar planet?). Memang nggak mudah, tapi nggak ada salahnya dicoba.

Dalam buku "Creative Advertising" karangan Mario Pricken (tahun 2001) dia sudah menjabarkan soal hal ini di Bab2.3: Without Words. Dia menggunakan contoh iklan Mercedez Benz SLK (judulnya "skid marks". silakan browsing sendiri), lalu iklan pulpen Bic yang menggunakan simbol "unlimited", iklan mobil Ford De Maverick 4x4, dlsb.

Jadi, mengutip kata Adidas (kompetitornya Nike), impossible-kah membuat iklan visual tanpa tanpa copy? "Impossible is nothing".

  © Blogger template 'Neuronic' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP